Kesesatan Fakta (Feitelijke Dwaling) “Kabut Tipis yang Mengaburkan Keadilan Hukum”

266 Dilihat

Oleh: Bayu Purnomo Saputra
Advokat & Mediator – 0822-8267-8118

Wartainspirasi.com — Di balik setiap tandatangan pada perjanjian, tersembunyi satu hal yang sering luput diperiksa secara cermat, kebenaran fakta yang melatarbelakanginya.

Tidak semua persetujuan lahir dari pemahaman yang utuh dan benar. Di sinilah letak ancaman senyap bernama feitelijke dwaling, “kesesatan fakta” yang sering kali menyesatkan jalan menuju keadilan.

Gambar Ilustrasi.

Dalam praktik hukum perdata, feitelijke dwaling terjadi ketika seseorang membuat keputusan hukum berdasarkan fakta yang ternyata keliru.

Ini bukan sekadar salah paham biasa, melainkan kesalahan substansial yang memengaruhi kehendak saat perjanjian dibuat.

Misalnya, seseorang membeli tanah karena diyakini terletak di zona komersial, padahal kenyataannya berada di zona konservasi. Persetujuan dalam kondisi seperti itu sejatinya cacat, karena didasarkan pada realitas yang tidak benar.

Masalahnya, banyak pihak termasuk pelaku usaha dan masyarakat umum tidak menyadari bahwa hukum sesungguhnya menyediakan ruang untuk melindungi korban kesesatan fakta.

Dalam KUHPerdata, khususnya Pasal 1321 dan 1322, ditegaskan bahwa persetujuan yang lahir karena kekhilafan dapat dibatalkan. Artinya, tidak semua perjanjian yang telah ditandatangani mutlak sah secara hukum.

Sayangnya, doktrin dwaling ini masih minim pemahaman dalam praktik sehari-hari. Banyak orang mengira bahwa asal sudah menandatangani kontrak, maka segalanya sah dan tak tergugat.

Padahal, jika fakta-fakta dasarnya terbukti keliru secara signifikan, perjanjian bisa dibatalkan atau bahkan tidak pernah dianggap ada secara hukum.

Sebagai advokat dan mediator, saya melihat banyak kasus di mana pihak yang seharusnya dapat perlindungan hukum justru terjebak karena kurangnya literasi hukum.

Ironisnya, dalam sejumlah sengketa perdata, pengadilan pun kerap terlalu fokus pada formalitas, alih-alih menggali substansi dan niat sejati para pihak.

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa keadilan hukum tidak semata-mata bergantung pada kelengkapan administratif, tetapi juga pada kejujuran fakta yang melatarbelakangi persetujuan.

Ini menjadi urgensi baru dalam membangun budaya hukum yang tidak hanya legalistik, tetapi juga etis dan berkeadilan.

Saya menyerukan agar aparat penegak hukum lebih progresif dan sensitif terhadap perkara yang mengandung dwaling.

Jangan biarkan hukum dibutakan oleh dokumen, sementara kebenaran justru bersembunyi di balik kesalahan informasi.

Penegakan hukum yang ideal adalah ketika substansi mengalahkan simbol, dan ketika niat baik lebih diutamakan daripada sekadar kesepakatan hitam di atas putih.

Dengan pemahaman dan penerapan yang tepat terhadap konsep feitelijke dwaling, kita bisa membangun sistem hukum perdata yang lebih adil, transparan, dan beradab.

Karena sejatinya, hukum adalah alat untuk mencari kebenaran, bukan membenarkan kekeliruan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *