Kota Tanpa Suara adalah Kota yang Mati

51 Dilihat

Wartainspirasi.com — Bukan sekadar curahan hati para pedagang kaki lima. Itu adalah jeritan kolektif dari wajah-wajah yang terlalu sering diabaikan dalam narasi besar “pembangunan kota”.

Ketika pembangunan hanya mendengar suara investor, dan bukan denyut hidup rakyat kecil, maka kota itu sedang dibangun di atas ketimpangan yang diam-diam membusuk.

“kami bukan sampah visual kota”. Kalimat itu mengiris.

Menggugat cara pandang pemerintah dan pemangku kepentingan yang terlalu lama melihat rakyat kecil sebagai beban tata kota, bukan sebagai pelaku ekonomi informal yang menyelamatkan banyak keluarga dari kemiskinan.

Dalam dunia yang kian dikuasai pasar modern dan e-commerce, kehadiran pedagang kaki lima justru menjadi simbol ketahanan ekonomi mikro yang nyata.

Salah satu poin tajam dalam tulisan ini adalah dikotomi antara estetika dan etika. Di banyak kota, termasuk Bengkulu, estetika dijadikan tameng kebijakan: bersih, tertib, rapi. Tapi rapi bagi siapa? Tertib dalam sudut pandang siapa? Ketika relokasi dan penggusuran dilakukan tanpa dialog, tanpa solusi riil, dan tanpa kompensasi, maka penataan itu tak lagi tentang perbaikan melainkan penyingkiran.

Kota memang perlu ditata. Tapi kota juga harus adil. Dan keadilan tak lahir dari penggusuran mendadak, apalagi ketika alternatif yang diajukan rakyat kecil hanya dianggap sebagai gangguan, bukan masukan.

Tulisan ini juga menggugat praktik demokrasi prosedural yang menjauh dari realitas. Musrenbang, yang sejatinya forum partisipatif rakyat, kini dipertanyakan maknanya.

Jika kelompok-kelompok terdampak seperti pedagang kaki lima tak pernah dilibatkan dalam perencanaan ruang, maka musrenbang hanyalah panggung untuk legitimasi, bukan untuk aspirasi.

DPRD lebih sering menyerap cahaya ring light daripada peluh rakyat. Ini kritik keras terhadap para wakil rakyat yang lebih sibuk membangun citra daripada memperjuangkan suara.

Yang paling penting untuk digarisbawahi adalah bahwa para pedagang ini tidak anti-aturan. Mereka bukan menolak ditata, tapi menolak disingkirkan.

Mereka menawarkan solusi, geser dinding Mega Mall 15 meter, ciptakan ruang legal berdagang. Itu bukan tindakan melawan itu bukti keinginan untuk bertahan secara bermartabat.

Sayangnya, suara seperti itu seringkali hanya dianggap bising. Karena memang demokrasi kita masih lebih peka terhadap modal daripada terhadap realitas rakyat miskin kota.

Konflik ruang kota bukan soal teknis. Ini soal nilai. Soal siapa yang dianggap warga kota yang sah, dan siapa yang hanya numpang hidup. UUD 1945 menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Tapi dalam praktiknya, banyak kebijakan publik justru menjadi alat pemiskinan struktural, menyamar dalam istilah “penertiban”.

Kota yang adil bukan yang hanya punya mal besar dan jalan lebar. Kota yang adil adalah kota yang memberikan ruang hidup bagi semua: dari pemilik ruko hingga penjual gorengan di trotoar.

“Sebab kota tanpa suara rakyat kecil, adalah kota yang kehilangan jiwanya.” Ini bukan sekadar retorika. Ini adalah peringatan.

Kota bukan hanya kumpulan beton dan jalan. Kota adalah ruang hidup bersama. Dan jika pembangunan terus dilakukan tanpa mendengar, tanpa melibatkan, dan tanpa menghargai mereka yang paling rentan, maka kota itu hanya akan menjadi indah di luar, tapi kosong di dalam.

Bengkulu dan kota-kota lain di Indonesia  harus memilih membangun kota yang ramah manusia, atau membangun kota yang hanya ramah modal.

Tulisan Eflan Heri, Sekretaris Perkumpulan Pedagang Pasar Minggu Bengkulu (P3MB)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *