Perspektif Kristen Kohesi Sosial dan Agama dalam Kontestasi Politik

Wartainpirasi.com, NTT — Pemilihan Umum merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang- undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Setiap kekuatan politik sudah mulai menyebarkan kegiatan kampanye dan kontestasi mereka di dunia maya dan dunia nyata. Tidak jarang, pesta demokrasi yang seharusnya dewasa, penuh kesantunan, mengutamakan akal sehat dan penuh kegembiraan, sering kali berubah menjadi medan perkelahian yang dapat menghancurkan keharmonisan Republik, hujatan, fitnah dan berita hoaks telah berkembang menjadi senjata dan bagaikan bumbu pemanis yang umum digunakan untuk menyerang, menjatuhkan, menghancurkan, atau bahkan mengeliminasi musuh serta mengharumkan sang figure tertentu.

Di tengah tujuan dan orientasi perebutan kekuasaan jangka pendek, etika dan standar perilaku “kemanusiaan yang adil dan beradab” hanya menjadi simbol yang kehilangan semangat dan relevansinya. Rival politik seringkali pergi “terlalu jauh” ketika kekuasaan menjadi prioritas utama, mengabaikan upaya untuk meningkatkan demokrasi dan mempertahankan multikulturalisme. Secara nyata, demokrasi dan kualitas pemilu kita kian menurun, bahkan agama yang seharusnya menjadi kekuatan moral, sering kali hanya digunakan untuk mendapatkan suara dan memperkuat kekuasaan. Regimen keagamaan akan muncul sebagai hasil dari pola transaksional antara penguasa politik dan agama.

Kelompok agama mayoritas menggunakan instrumen kekuasaan untuk menyebarkan keyakinan dan kebiasaan mereka. Pada akhirnya, ini berkembang menjadi hukum resmi yang mengikat semua kelompok minoritas dalam memilih teologi mereka. Secara tidak adil diperlakukan, dianggap sebagai ancaman dan tidak memiliki akses ke banyak sumber daya penting. Pada akhirnya, keyakinan tentang Pancasila dan nasionalisme seringkali hanyalah retorika mulut yang tidak diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari.

Meskipun mereka sering menyatakan diri mereka sebagai kelompok yang mencintai NKRI, mereka sering mengalami kesulitan hidup berdampingan dan berkoeksistensi dengan kelompok yang berbeda dari segi politik. Edward Aspinal dan Marcus Mietzner sangat mengkritik bagaimana demokrasi Indonesia bergerak ke arah yang salah. Dia mengklaim bahwa demokrasi kita sedang mengalami regresi. menggunakan demokrasi dalam politik sambil mengabaikan pluralisme agama (Aspinal dan Mietzner, 2019).

Inkonsistensi ini menunjukkan bahwa para pemimpin politik tidak terlalu berkomitmen untuk menjadikan nilai-nilai sakral Indonesia sebagai tempat yang nyaman bagi semua kelompok agama, dan ini juga menandakan awal munculnya sistem otoritarianisme baru.

Satu kelompok mayoritas agama diterima, sedangkan komunitas agama lain dianggap tidak sejalan. Perpecahan baru berbasis identitas agama dipercepat oleh model tata kelola dan pendekatan yang salah dalam menangani pluralitas.

Meskipun mereka tidak menyadarinya, mereka terjebak dalam paradigma hobbesian, yang menganggap diversitas sebagai ancaman terhadap ketertiban sosial. Selain itu, fenomena kemiskinan yang sedang berlangsung dapat menyebabkan pembagian sosial yang semakin tidak terkendali.

Kita tahu bahwa faktor kemiskinan menurunkan kadar resiliensi masyarakat untuk mempertahankan kohesi sosial. Meskipun data statistik terus ramai diperdebatkan tentang penurunan angka kemiskinan, faktanya adalah bahwa masih ada perbedaan kesejahteraan dan pendapatan antara kelompok kaya dan kelompok yang berpenghasilan rendah di masyarakat kita, status sosial ekonomi masih membelah masyarakat, kantong kemiskinan dapat ditemukan dekat pusat-pusat kekuasaan, masalah kemiskinan masih menjadi masalah besar yang belum diselesaikan. Keyakinan para pendiri Republik untuk mewujudkan keadilan sosial masih sangat kuat.

Korupsi oleh para elit baik di pusat maupun daerah semakin meningkat, membuat pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia tertinggal jauh.

Kita harus benar-benar bertindak untuk menghindari polarisasi, fragmentasi, dan konflik yang disebabkan oleh ketiadaan keadilan dan kesejahteraan di masyarakat Indonesia yang beraneka ragam ini. Ketidak percayaan vertikal dan horizontal, serta ketidak percayaan horizontal masyarakat terhadap institusi pemerintah, dapat menyebabkan perang saudara dan bahkan negara runtuh, seperti yang terjadi di banyak negara lain.

Para politisi harus menyadari bahwa kompetisi politik yang tidak sehat dapat merusak kohesi sosial. Namun, seperti yang dinyatakan dalam sila ketiga Pancasila, “Persatuan Indonesia,” kohesi sosial harus dijaga sebagai tujuan sosial dan politik yang penting. Kohesi sosial adalah ketika orang-orang secara konsisten berinteraksi satu sama lain di berbagai aspek kehidupan masyarakat (Croissant dan Walkenhorst, 2019).

Kohesi sosial menghasilkan masyarakat yang harmonis yang dapat bersatu dalam perbedaan. Ini memungkinkan pertumbuhan ekonomi, penguatan demokrasi, dan kesejahteraan. Keanekaragaman sosial mendorong kemajuan bangsa. Oleh karena itu, Indonesia adalah negara beragam suku, ras, etnik dan agama yang berbeda, setiap orang seharusnya bertanggung jawab untuk menjaga kohesi sosial.
Menurut para pakar, setidaknya tiga komponen utama harus dibangun untuk mempertahankan kohesi sosial. Pertama, hubungan sosial berarti hubungan sosial yang baik secara horizontal. Ini berarti bahwa satu individu dengan individu lain harus memiliki jejaring sosial yang kuat, kepercayaan dalam hubungan interpersonal dan toleransi terhadap perbedaan.

Kedua ialah connectedness (ikatan), yang berarti bahwa baik individu maupun kelompok masyarakat percaya pada institusi pemerintah dan berpendapat bahwa pemerintah memperlakukan semua kelompok dengan adil. Mengingat kepercayaan publik terhadap institusi negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, ini jelas merupakan pekerjaan besar yang harus diselesaikan. Untuk mewujudkan kondisi ideal ini, pemerintah harus bekerja dengan keras untuk memerangi korupsi dan gaya hidup mewah pejabat, mengayomi dan menciptakan keadilan untuk semua orang, mendistribusikan kebaikan publik, dan memberikan kesejahteraan publik yang nyata.

Ketiga, fokuskan pada kepentingan umum. Ini menunjukkan bahwa ketika orang, komunitas, dan negara berkomitmen untuk menjaga aturan main bersama, mereka bertindak dan berpikir dengan cara yang sama.
Untuk menghindari kesalah pahaman bahwa hukum tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas, norma sosial dan hukum harus dipatuhi oleh semua orang tanpa kecuali. Aturan tidak seharusnya memberikan hak istimewa kepada kelompok tertentu. Sebaliknya, mereka harus dibuat dengan mengutamakan demokrasi, egalitarianisme, dan partisipasi seluruh warga negara. Salah satu prinsip kewargaan modern adalah bahwa tidak boleh ada warga negara yang hak-haknya dilecehkan. Dimanakah peran agama? jika keadaannya demikian, peran khusus apakah yang dapat dimainkan oleh agama atau agamawan? Menurut Hillenbrand (2020), ada tiga tugas penting harus dilakukan, diantaranya:

Pertama, pengajaran iman harus dilakukan untuk membangun dunia yang damai. Ini harus dilakukan tanpa menjadi arogan dan mendevaluasi orang lain hanya karena mereka memiliki keyakinan atau cara beribadah yang berbeda. Keyakinan yang inklusif ini sangat penting untuk membuat suatu negara yang memiliki banyak kelompok sosial multikultural bersatu.

Kedua, pendidikan keagamaan harus mampu mendorong sikap dan perilaku penting seperti rasa simpati, tanggung jawab sosial, solidaritas dan perilaku prososial lainnya kepada semua orang tanpa mempertimbangkan agama, ras, atau suku mereka. Sebagian besar lembaga pendidikan dalam menerapkan pendidikan agama hanya dapat diukur melalui kertas ujian kognitif. Metode yang lebih relevan dan komprehensif harus digunakan untuk mengubah orientasi yang kuno ini. Pendidikan agama harus dapat mengajarkan orang bagaimana berperilaku baik terhadap sesama. Pentingnya memahami civic culture seperti empati, rasa simpati, dan memanusiakan manusia.

Ketiga, pada tataran aktif, afiliasi seseorang pada kelompok keagamaan tertentu, hendaknya jangan justru menanamkan sikap arogan dan meremehkan kelompok keagamaan lain. Membangun mentalitas demarkasi bahwa kelompoknya, adalah yang paling benar dan melakukan provokasi bahwa kelompok lain salah merupakan akhlak yang sungguh dicela agama. Retaknya kohesi social, secara jelas bahwa gerakan politisasi identitas tidak hanya membantu masyarakat, tetapi juga mengganggu kohesi sosial. Salah satu faktor yang berkontribusi pada hal ini adalah meningkatnya pragmatisme politik, serta ikatan tradisional berbasis agama, daerah dan asal-usul.

Fenomena ini berpotensi menumbuhkan prasangka, perasaan agama, dan etnis, serta menimbulkan konflik antar sekte. Ketidak adilan adalah salah satu penyebab penurunan kohesi sosial, menurut Yudi Latif, Direktur Eksekutif Reform Institute, menyatakan bahwa meskipun Indonesia mengalami peningkatan kebebasan setelah reformasi bergulir, keadilan masih kurang yang menyebabkan kesenjangan sosial semakin meningkat. Semakin banyak orang melihat fenomena ini saat simbol agama dimasukkan ke ranah publik untuk mengalang kekuatan politik.

Menurut Nasaruddin Umar, masalah ini sangat sensitif karena tidak hanya dapat mengalahkan masalah primordialisme, kesukuan dan kedaerahan, tetapi juga memiliki efek yang sangat sulit untuk dibendung. Agama dapat digambarkan sebagai pisau bermata dua: itu bisa membantu bangsa bersatu, seperti yang terjadi dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, tetapi juga bisa menyebabkan bangsa berpecah.

Alter Imanuel Wowor, seorang Kristen dan Politik, mengungkapkan fakta-fakta tentang banyaknya korupsi, perseteruan di antara elit politik yang menyebabkan ketidak stabilan pemerintahan, janji palsu yang di buat para politisi saat berkampanye untuk menarik perhatian masyarakat, gratifikasi dan praktik suap-menyuap, kolusi dan nepotisme pemerintahan, dan berbagai demonstrasi yang dilakukan oleh organisasi mahasiswa pemuda dan organisasi masyarakat untuk mendukung kepentingan politik tertentu. Ini adalah fakta yang mendorong sebagian besar orang Indonesia untuk menganggap politik Indonesia sebagai sesuatu yang buruk dan kotor.

Merunut , Richard Daulay mengatakan bahwa wawasan politik telah dibawa oleh misionaris ke Indonesia sejak awal abad ke-19, tetapi masih sangat negatif. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa badan zending yang datang, seperti NZG di Belanda dan RMG di Jerman, sangat dipengaruhi oleh perspektif politik pietisme, yang percaya bahwa politik adalah sesuatu yang kotor, duniawi, dan tidak sesuai dengan Injil. Secara umum, ada dua alasan mengapa para zending tidak ingin membantu orang Kristen dalam hal politik.

Pertama, alasan teologis: para pekabar Injil yang berlatar belakang pietisme tidak tertarik atau merasa bertanggung jawab atas masalah politik di lapangan pekabaran Injil. Kedua, alasan politik praktis: setiap pekabar Injil harus mengikuti prinsip rust en orde (ketentraman dan ketertiban) sesuai dengan Undang-undang yang ditetapkan oleh pemerintahan jajahan Belanda. Menurut beberapa teolog, kekeliruan dalam memahami politiklah yang membuat banyak orang Kristen menganggap politik sebagai sesuatu yang kotor.

Menurut Yewangoe, politik dapat dibedakan dalam dua pengertian atau matra yang tidak boleh dipisahkan satu sama lainnya. Matra pertama adalah tanggung jawab sebagai warga negara yang hidup dalam suatu masyarakat atau negara (polis). Istilah “polis” berasal dari bahasa Yunani dan tidak hanya berarti tempat di mana kehidupan sosial dapat dibangun dan dipupuk, tetapi juga berarti suasana dimana setiap individu yang baik dapat saling membangun untuk kepentingan polis itu sendiri.
Secara sederhana, politik adalah komitmen kolektif untuk membangun dan mengawasi polis. Menurut Yeremia 29:7, “Usahakanlah kesejahteraan Kota ke mana kamu aku buang dan berdoalah untuk Kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu,” adalah matrat atau pengertian ini. Dari perspektif ini, politik di lihat sebagai sesuatu yang dilakukan oleh manusia, bukan oleh malaikat. Menurut gagasan ini, salah satu komponen yang diperlukan untuk meniadakan hal-hal yang bersifat demonis adalah kehadiran pemerintah hukum juga diperlukan untuk mengatur kehidupan masyarakat.

Politik dalam arti atau matra yang kedua adalah adalah upaya-upaya untuk memperoleh kekuasaan (power, macht). Ada perjuangan memperoleh kekuasaan (machtstrijd). Kekuasaan bukanlah sesuatu yang buruk asal saja di pergunakan untuk kemaslahatan bersama.

Kekuasaan bukanlah tujuan pada dirinya, melainkan sarana untuk menghasilkan kebaikan bagi banyak orang. Matra yang kedua ini didasarkan pada ajakan rasul Paulus kepada umat di Kota Roma untuk taat kepada pemerintah sebagai suatu sikap politik.

Matra ini hendak menjelaskan bahwa kekuasaan yang terwujud dalam bentuk pemerintah bukanlah sesuatu yang jahat. Bagi Paulus, tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah dan ditetapkan oleh Allah (Rm. 13); bisa juga dibandingkan dengan perintah Yesus dalam Matius 22:15-22. Pemerintah dianggap sebagai pengemban amanat untuk mengurus polis (Negara-Kota).

Menurut Abraham Silo Wilar, teologi, politik dan keseharian orang Israel mewarnai kitab kejadian hingga Raja-raja. Di sini Tuhan senantiasa terlibat dalam kehidupan Israel termasuk dalam kekuasaan duniawi. Oleh karena itu, memisahkan teologi dan politik malahan membuat politik dikuasai oleh orang-orang yang tidak konstruktif (akibatnya anggapan politik itu adalah hal yang kotor justru makin kental). Dalam menghadapi kontestasi politik ini, bagaimana sikap orang Kristen?

Sikap orang Kristen terhadap politik diantaranya bersifat antagonistis, rejektif dan menyesuaikan. Respon yang benar itulah yang lebih penting dan menentukan sikap orang percaya terhadap berbagai gejolak politik yang terjadi. Allah menghendaki orang Kristen taat kepada pemerintah, sesuai dengan pengertian bahwa pemerintah menjalankan tugas dan wewenang yang diberikan oleh Allah.

Orang Kristen harus menghormati kewibawaan pemerintah dunia selama kebijakan itu dilakukan demi kesejahteraan masyarakat dan didasarkan pada Undnag-undang yang berlaku dan orang Kristen harus mengakui lembaga pemerintah yang diadakan oleh karena kehendak Allah.
Para politikus, haruslah menyadari bahwa berpolitik sebagai anugerah, dengan demikian jabatan dan kekuasaanitu dipandang sebagai kesempatan untuk mengabdi kepada Tuhan melalui pelayanan kepada rakyat.

Para politikus dipanggil karena memiliki keberpihakan kepada yang lemah. Alasan inilah yang seringkali mengakibatkan masyarakat menjadi korban penindasan, ketidak adilan, kesewenang-wenangan, keberpihakan mereka tidak boleh dilandasi oleh sentiment yang bersifat primodial (suku, ras atau agama).

Hendaklah para politikus memiliki visi dan misi yang berorientasi pada rakyat dan kerajaan Allah serta berorientasi pada vision, values, courages sebagai wujud aspek kepribadian.

Orang Kristen diajak untuk merenungkan kembali politik sehingga tidak terjebak dalam politik praktis yang menggunakan berbagai cara, termasuk menyebarkan berita bohong, ujaran kebencian dan menghapus lawan politik untuk mencapai tujuan. Orang Kristen harus menyadari bahwa politik adalah sarana yang diberikan oleh Allah.

Akibatnya, kekuasaan harus digunakan untuk kepentingan bersama berdasarkan keadilan dan kasih sayang. Marilah kita bersama-sama mewujudkan kontestasi politik yang berkualitas, supaya menghasilkan pemimpin yang berintegritas.

Harapan ada di tangan kita, keputusan di tangan kita. Pada tanggal pemilihan nanti, kita yang akan menentukan kearah mana bangsa ini akan kita bawa. Semoga menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *