Wartainspirasi.com — Dalam diskursus hukum pidana Indonesia, pembahasan mengenai tindak pidana hampir selalu kembali pada pertanyaan klasik! apakah perbuatan tersebut memenuhi unsur (bestanddeel) objektif dan subjektif sebagaimana rumusan undang-undang?.
Jawaban atas pertanyaan tersebut kerap dianggap sederhana, namun kenyataannya praktik penegakan hukum menunjukkan bahwa penghampiran unsur subjektif.
Yakni niat atau kehendak pelaku, seringkali dipahami secara mekanis dan kaku. Di sinilah letak persoalan epistemik kita hari ini.
Negara hukum tidak hanya menuntut kepastian (rechtszekerheid), namun juga keadilan (gerechtigheid) dan kemanfaatan (doelmatigheid).
Namun, dalam perkara pidana, unsur subjektif yang justru menjadi inti moralitas perbuatan sering dipinggirkan melalui penafsiran formalistik yang mengukur “niat” hanya dari akibat luar yang dapat dilihat.
Padahal, kesengajaan bukanlah sesuatu yang semata-mata tampak, tetapi sesuatu yang dialami.
Ketika Niat Dipersempit Menjadi Kejadian. Penegak hukum, terutama dalam perkara-perkara yang memerlukan rekonstruksi psikologis, sering hanya melihat kesengajaan dari serangkaian tindakan yang tampak.
Akibatnya, terdapat reduksi pemahaman, apa yang terjadi dianggap selalu mencerminkan apa yang dikehendaki.
Inilah yang menyebabkan:
1. Orang yang bertindak dalam kepanikan sering dianggap sengaja;
2. Orang yang terseret keadaan sosial, ekonomi dianggap memiliki maksud jahat yang mapan;
3. Pelaku tindak pidana karena tekanan struktural diperlakukan sama dengan pelaku kejahatan yang terencana.
Padahal, hukum pidana bukanlah alat bantu optik yang hanya melihat permukaan tindakan. Ia adalah instrumen penilaian moral dalam konteks sosial manusia yang kompleks.
Dalam hal ini mengapa Perlu Reinterpretasi?, Pertama, Indonesia saat ini hidup dalam era interaksi sosial yang semakin kompleks.
Keputusan manusia tidak lagi linier, tetapi terpengaruh oleh tekanan emosional, digital, ekonomi, bahkan algoritma informasi.
Kedua, kecenderungan kriminalisasi terhadap warga dalam posisi rentan menunjukkan bahwa unsur subjektif tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial yang membentuk kesadaran pelaku.
Ketiga, semangat Konstitusi, khususnya Pasal 28G UUD 1945, menegaskan bahwa keadilan harus mempertimbangkan perlindungan martabat manusia, bukan sekadar menghukum.
Arah Rekonstruksi yang Diperlukan, yakni penulis mengusulkan konsep “kesengajaan berlapis kontekstual”, di mana niat tidak hanya ditafsirkan berdasarkan akibat, tetapi juga melalui:
1. Kondisi kejiwaan dan beban emosional pada saat kejadian.
2. Tekanan sosial dan struktural yang mempengaruhi kehendak.
3. Relasi kuasa antara pelaku, korban, dan lingkungan sosial.
4. Aspek kemendesakan dan refleks manusiawi
Dengan kerangka ini, hukum pidana tidak kehilangan kepastian, tetapi mendapat pendalaman moral yang selama ini hilang.
Penulis menyampaikan sebagai kalimat penutup, bahwa Hukum pidana seharusnya tidak hanya menjawab pertanyaan apa yang dilakukan, tetapi juga mengapa dan bagaimana hal itu terjadi.
Reinterpretasi unsur subjektif bukan berarti melemahkan penegakan hukum, tetapi justru memperkuat legitimasi moral negara dalam menjatuhkan pidana.
Keadilan bukan sekadar menghukum yang bersalah. Keadilan adalah memahami manusia sebelum menilainya.
Oleh: Bayu Purnomo Saputra (Praktisi Hukum & Mahasiswa Magister Ilmu Hukum)







