“Tanah Air Tanpa Tanah”

296 Dilihat

Oleh Bayu Purnomo Saputra (Advokat & Mediator BPS And Partners-0822-8267-8118)

Wartainspirasi.com — Tanah air “dua kata sakral” yang sejak kecil diajarkan sebagai identitas kita. Tapi hari ini, keduanya mulai kehilangan maknanya. Tanah terus dikapling, digusur, dan dibeton.

Air semakin sulit ditemukan, tercemar, atau bahkan dijual dalam galon. Maka kita pun mulai hidup dalam ironi “sebuah tanah air, tanpa tanah dan tanpa air”.

Di negeri ini, lahan konservasi sering dianggap sebagai penghalang investasi. Hutan dibuka untuk sawit, pesisir ditimbun untuk reklamasi, dan lahan basah dianggap tak produktif.

Padahal, dari situlah kita mendapat perlindungan paling dasar udara bersih, air tanah, pendingin alami, dan ruang hidup untuk makhluk lain yang menjaga keseimbangan.

Sebaliknya, lahan komersial terus tumbuh. Jalan tol memanjang, gedung menjulang, dan tambang menggali sampai ke tulang bumi.

Tapi kita jarang bertanya: siapa yang benar-benar menikmati hasilnya? Karena sering kali, pembangunan bukan memperkuat rakyat, melainkan memperlebar jurang, antara yang punya lahan dan yang hanya bisa melihatnya dari balik pagar.

Padahal, konstitusi kita sudah memberi arah. Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa bumi dan air harus dikelola untuk kemakmuran rakyat.

Ditambah lagi, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, dan berbagai regulasi turunannya, semuanya menggariskan satu pesan ” lahan harus dikelola dengan keadilan dan keberlanjutan”.

Namun, hukum yang baik tak berarti apa-apa bila ruang dikuasai oleh kepentingan jangka pendek.

Lahan Tidak Pernah Kosong, Kita harus menghapus anggapan bahwa lahan kosong adalah ruang tak berguna. Tidak ada tanah yang betul-betul kosong.

Setiap jengkal tanah menyimpan fungsi ekologis, sejarah, dan makna sosial. Lahan basah menahan banjir. Lahan kering menyerap air. Lahan gambut menyimpan karbon. Lahan pesisir melindungi dari badai.

Bila kita menyamaratakan semuanya menjadi ‘lahan proyek’, maka kerusakan tinggal menunggu giliran.

Saatnya menuju ruang bernapas, gagasan inj menawarkan gagasan “Ruang Bernapas”, Ruang yang bukan hanya dipakai, tapi dihormati. Ruang yang tidak sekadar “dimanfaatkan”, tapi juga “dirawat”.

Kita bisa membangun ekonomi tanpa menghancurkan ekosistem. Kita bisa merancang kota yang ramah lingkungan tanpa mengorbankan identitas lokal.

Dan itu hanya bisa terjadi kalau kita melihat lahan bukan sebagai aset mati, tapi sebagai penjaga kehidupan.

Jangan Sampai Kita Hanya Punya Lagu “Tanah Air”, Tapi Tak Punya Tanah dan Air Lagi, Tanah air bukan sekadar lirik lagu. Ia adalah janji antara manusia dan alam.

Bila kita terus melanggar janji itu, maka bukan hanya lingkungan yang rusak, melainkan juga rasa kebangsaan kita yang perlahan-lahan luntur.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *