Wartainspirasi.com — Acara perpisahan Kepala Cabang Dinas Pendidikan Provinsi Wilayah (Kacabdindikpropwil) Banyuwangi, Ahmad Jaenuri, yang bertajuk “Pamit Dalam Syukur, Melangkah Dalam Doa” menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan.
Acara yang digelar mewah di Hotel Grand Harvest dan Restoran, Licin, Banyuwangi, pada Rabu (30/4/2025) pukul 09.00 WIB itu dinilai bertolak belakang dengan semangat penghematan yang selama ini ditekankan dalam lingkungan pendidikan.
Sorotan keras datang dari LSM Suara Bangsa Banyuwangi. Ketua LSM, H. Suyoto Mahmud Sholeh, atau yang akrab disapa Mbah Yoto, menilai perpisahan tersebut bukan sekadar acara seremoni biasa, melainkan cerminan gaya kepemimpinan yang tidak peka terhadap suasana kebatinan dunia pendidikan saat ini.
“Acara mewah di pagi hari, sementara serah terima jabatan (sertijab) resminya malah digelar sederhana di kantor pada sore harinya. Ini ironi besar. Jauh dari semangat efisiensi dan keteladanan birokrasi,” tegas Mbah Yoto dalam pernyataannya, Jumat (2/5/2025).
Yang lebih disorot, pelaksanaan acara justru dipimpin oleh M. Nursyukroini, Kepala SMAN 1 Tegaldlimo, yang dikenal dekat dengan Ahmad Jaenuri.
Penunjukan Nursyukroini sebagai Ketua Panitia dianggap sejumlah pihak sebagai bentuk relasi kekuasaan yang sarat kepentingan.
“Ini bukan hanya soal mewah atau tidak. Tapi soal etika dan penyalahgunaan pengaruh jabatan. Jabatan Kacabdin itu milik publik, bukan panggung penghormatan personal. Kalau panitianya orang-orang dekat, publik punya hak curiga,” sambung Mbah Yoto.
Sikap senada juga disampaikan oleh Ketua Forum Komite SMAN/SMKN se-Kabupaten Banyuwangi, Misnadi, SH. Ia menyoroti ketimpangan moral yang terjadi, di mana siswa dan guru dilarang menggelar perpisahan mewah, namun justru pejabatnya memberi contoh sebaliknya.
“Ini bukan soal sumber dananya, tapi soal keteladanan. Kepala sekolah yang harusnya menjadi pengawal semangat hemat malah jadi panitia acara mewah. Ini ironi pendidikan,” kata Misnadi, yang juga dikenal sebagai mantan Ketua Peradi Banyuwangi.
Ia menambahkan, tekanan moral juga dirasakan oleh para kepala sekolah yang diundang dalam acara tersebut.
“Bisa jadi mereka datang bukan karena sepakat, tapi karena takut dianggap tidak loyal. Ini berbahaya, karena menciptakan budaya feodal baru di birokrasi pendidikan,” tambahnya.
Sementara itu, acara sertijab antara Ahmad Jaenuri dengan Slamet Riyadi pejabat Kacabdindikpropwil Bondowoso yang kini ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Kacabdin Banyuwangi hanya berlangsung secara sederhana di Aula Kantor Cabang Dinas Pendidikan Banyuwangi, pada pukul 15.00 WIB di hari yang sama.
Kontras antara dua acara ini dinilai sebagai simbol pergeseran makna kepemimpinan publik, dari yang seharusnya melayani dan bersahaja, menjadi ajang pencitraan dan glorifikasi personal.
Sejumlah penggiat pendidikan, termasuk LSM Suara Bangsa, mendesak Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur untuk segera mengevaluasi dan memberikan teguran atas penyelenggaraan acara tersebut.
Langkah ini dinilai penting demi menjaga integritas dan marwah dunia pendidikan dari praktik-praktik yang tidak sejalan dengan nilai-nilai keteladanan birokrasi.
(Robby)