Oleh: Bayu Purnomo Saputra
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum, Universitas Islam Syekh-Yusuf
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) tengah menuai sorotan. Salah satu pasalnya, yakni Pasal 142 ayat (3) huruf b, melarang advokat menyampaikan opini di luar sidang terkait perkara yang sedang ditangani.
Meski diklaim untuk menjaga proses hukum tetap steril, pasal ini justru berpotensi membungkam suara advokat dan mengancam prinsip keadilan itu sendiri.
Advokat bukan sekadar pendamping hukum, mereka adalah bagian penting dari sistem peradilan yang adil dan terbuka.
Ketika mereka dibatasi secara mutlak untuk berbicara di ruang publik, maka narasi hukum menjadi timpang.
Sementara aparat penegak hukum seperti polisi atau jaksa masih bebas memberi pernyataan kepada media, suara pembela justru dibisukan.
Pembatasan ini bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang menjamin hak setiap orang untuk menyatakan pendapat.
Bahkan dalam standar hak asasi manusia internasional, pembatasan terhadap kebebasan berpendapat harus bersifat proporsional dan kontekstual, bukan absolut.
Larangan total justru membuka ruang ketidakadilan sistemik dan mempersempit transparansi hukum.
Solusinya bukan membungkam, melainkan mengatur secara berimbang.
Advokat harus tetap memiliki ruang untuk bicara, sepanjang tidak menyebarkan informasi yang salah, tidak mengganggu proses persidangan, dan tidak menekan pihak lain.
Pendekatan ini menjaga marwah pengadilan tanpa melanggar hak-hak konstitusional.
Membungkam advokat sama saja dengan mematikan salah satu pilar keadilan.
Di era keterbukaan informasi, hukum tidak boleh dijalankan dalam sunyi.
Justru lewat suara yang kritis dan berimbang, keadilan dapat tumbuh dan dirasakan semua pihak.







