LAHAT, WARTAINSPIRASI.COM — Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Lahat Raya kembali melayangkan surat Permohonan Fatwa Mahkamah Agung terhadap Implementasi PERMA No. 1 Tahun 2006 pada Perkara No. 10/Pdt.Sus.BPSK/2021/PN.Lht atas Pemohon Keberatan PT. PLN (Persero) UP3 Lahat, dengan Majelis Hakim.
Renaldo Maiji Hasoloan Tobing, SH. MH selaku Hakim Ketua dan Muhammad Chozin Abu Sait, SH, Mahartha Noerdiansyah, SH selaku Hakim Anggota.serta Dahlan, SH. MM selaku Panitera.
Menurut Ketua YLKI Lahat Raya, Sanderson Syafe’i, ST. SH, surat ini dimaksudkan agar aturan-aturan pasal demi pasal dalam PERMA tersebut harus lebih diperjelas lagi, sebab ditakutkan adanya perbedaan penafsiran oleh seseorang. Apalagi jika majelis hakim mempunyai pendapat masing-masing dalam menerima dan mengadili sendiri keberatan yang diajukan oleh pihak yang berseketa.
“Seperti dalam keberatan terhadap putusan BPSK, sehingga, kejelasan apakah perkara tersebut akan diterima dan diadili sendiri oleh Majelis hakim,” terang Sanderson, pada Kamis (19/08/2021) kemarin.
Sebab dalam penafsiran mengenai Pasal 6 ayat (5) PERMA No.1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK yang berbunyi “Dalam hal keberatan diajukan atas dasar alasan lain di luar ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (3), Majelis hakim dapat mengadili sendiri sengketa konsumen yang bersangkutan”.
Sanderson menafsirkan bahwa proses yang terjadi dalam pasal ini adalah proses yang menggambarkan sebelum persidangan dimulai yang mana majelis hakim yang akan mengadili suatu perkara keberatan terhadap putusan BPSK ini, haruslah terlebih dahulu merapatkan dan membahas apakah perkara tersebut dapat diterima atau tidak dan akan diadili sendiri proses persidangannya atau tidak.
“Dan, keputusan apakah akan diterima serta diadili sendiri, akan disampaikan pada proses persidangan pertama setelah dibacanya permohonan keberatan oleh pemohon. Apabila, diterima maka baru dilanjutkan dengan proses mengadili sendirinya dalam persidangan tersebut,” urai Sanderson.
Oleh karenanya, aturan ini haruslah jelas bagaimana pengaturannya, agar tidak terjadi kekeliruan, kerugian serta celah-celah hukum yang ditakutkan nantinya dimanfaatkan oleh salah satu oknum untuk menghancurkan badan peradilan.
Diperlukannya Fatwa ini diharapkan ada aturan yang lebih jelas untuk mengatur segala kekurangan yang belum diatur dalam PERMA tersebut, sebab masih ada juga maksud dari pasal yang belum jelas seperti, apa-apa saja Alasan lain yang dapat diterima dan diadili oleh Majelis hakim atas pengajuan keberatan terhadap putusan BPSK oleh para Pihak yang bersengketa.
Dijelaskan Sanderson, karena bisa saja perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan mengenai keberatan terhadap putusan BPSK nantinya perkara-perkara tersebut didasarkan atas dasar alasan lain dapat untuk dapat Majelis hakim menerima dan mengadili perkara yang dimaksud.
“Sebab, asas ius curia novit menyatakan bahwa hakim dianggap tahu dan berhak untuk mengadili segala perkara yang jatuh kepadanya,” ucapnya.
Keraguan YLKI Lahat Raya bukan tanpa sebab, Pasal 6 ayat (3) PERMA No.1 Tahun 2006 tidak pernah digunakan sama sekali oleh para pihak yang bersengketa sebab itu sangat susah untuk dipenuhi dan dibuktikan kebenarannya, sehingga terjadilah tidak efektifnya aturan yang sudah dibuat. Serta Pada pasal 6 ayat (3) PERMA No.1 tahun 2006.
“Apakah yang dimaksud dalam pengajuan keberatan terhadap putusan arbitrase BPSK dapat diajukan apabila memenuhi persyaratan pembatalan putusan arbitrase tersebut dipenuhi keseluruhannya atau hanya sebagian saja dari persyaratan tersebut baru dapat diajukan pengajuan keberatannya,” tanya Sanderson.
Dalam Pasal 6 ayat (3) tersebut jelas menjelaskan bahwa pengajuan keberatan terhadap putusan arbitrase BPSK dapat diajukan apabila memenuhi persyaratan, dari makna kalimat tersebut poin-poin pada persyataran harus dipenuhi keseluruhannya, namun pastilah sangat susah untuk memenuhi dan membuktikan persyaratan tersebut sudah memang benar dipenuhi oleh pemohon keberatan terhadap putusan BPSK tersebut.
“Oleh sebab itu, dengan Fatwa Mahkamah Agung ini dapat mengatur lebih lanjut dan jelas tentang ketidak-jelasan tersebut, agar implementasinya tepat dan tidak terjadi sesuatu yang dapat merugikan,” pungkas Sanderson. (Din)