𝐎𝐥𝐞𝐡: 𝐁𝐚𝐲𝐮 𝐏𝐮𝐫𝐧𝐨𝐦𝐨 𝐒𝐚𝐩𝐮𝐭𝐫𝐚
𝐏𝐫𝐚𝐤𝐭𝐢𝐬𝐢 𝐇𝐮𝐤𝐮𝐦 & 𝐌𝐚𝐡𝐚𝐬𝐢𝐬𝐰𝐚 𝐌𝐚𝐠𝐢𝐬𝐭𝐞𝐫 𝐈𝐥𝐦𝐮 𝐇𝐮𝐤𝐮𝐦 𝐔𝐧𝐢𝐯𝐞𝐫𝐬𝐢𝐭𝐚𝐬 𝐈𝐬𝐥𝐚𝐦 𝐒𝐲𝐞𝐤𝐡-𝐘𝐮𝐬𝐮𝐟 (𝐔𝐍𝐈𝐒-𝐓𝐚𝐧𝐠𝐠𝐞𝐫𝐚𝐧𝐠)
Wartainspirasi.com — Dalam setiap kelahiran, hadir secercah harapan baru bagi bangsa. Anak bukan sekadar individu yang sedang tumbuh, tetapi penentu arah masa depan peradaban.
Namun, di tengah kemajuan zaman, anak-anak justru masih menghadapi ancaman yang serius, yakni kekerasan, eksploitasi, dan pengabaian.
Ancaman ini bukanlah takdir, melainkan cerminan lemahnya sistem perlindungan yang ada.
Perlindungan anak selama ini cenderung ditangani secara sektoral, negara berjalan dengan undang-undangnya, keluarga berjuang sendiri, sekolah fokus pada akademik, dan masyarakat bersikap pasif.
Padahal, pendekatan parsial seperti itu tidak cukup. Kita butuh pendekatan ekosistem. perlindungan anak sebagai tanggung jawab bersama yang berjalan beriringan, saling menopang, dan berkelanjutan.
𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐩𝐚 𝐇𝐚𝐫𝐮𝐬 𝐄𝐤𝐨𝐬𝐢𝐬𝐭𝐞𝐦?
Ekosistem perlindungan anak bukan semata rangkaian aturan hukum, melainkan sistem sosial yang melibatkan keluarga, negara, pendidikan, media, dan komunitas.
Tanpa sinergi antar unsur tersebut, perlindungan anak akan selalu rapuh. Contohnya, regulasi hukum yang ketat tidak akan efektif jika tidak didukung sistem sosial yang mencegah kekerasan sejak dini.
Hal serupa berlaku jika hanya mengandalkan keluarga tanpa dukungan negara, ketimpangan kesejahteraan akan terus memunculkan anak-anak rentan.
Maka, perlindungan anak harus dibangun dengan pendekatan ekosistem yang menyentuh hulu ke hilir.
𝐏𝐢𝐥𝐚𝐫-𝐏𝐢𝐥𝐚𝐫 𝐄𝐤𝐨𝐬𝐢𝐬𝐭𝐞𝐦 𝐏𝐞𝐫𝐥𝐢𝐧𝐝𝐮𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐀𝐧𝐚𝐤:
1. Keluarga sebagai Benteng Utama
Keluarga adalah lingkungan pertama anak belajar mengenal dunia.
Banyak kasus kekerasan terhadap anak bermula dari rumah, akibat pola asuh yang salah, tekanan ekonomi, atau kurangnya edukasi.
Negara perlu menghadirkan kebijakan yang mendukung parenting berkualitas, mulai dari cuti orang tua, bimbingan konseling keluarga, hingga edukasi pola asuh non-kekerasan.
2. Negara sebagai Pelindung dan Fasilitator
Negara tidak cukup hanya membuat undang-undang.
Ia harus hadir dalam bentuk layanan yang konkret “akses kesehatan mental anak, pendidikan ramah anak, layanan aduan cepat tanggap, hingga bantuan sosial bagi keluarga berisiko”.
Implementasi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak harus menyentuh akar, bukan hanya prosedur.
3. Pendidikan yang Membebaskan dan Memberdayakan Anak
Sekolah tidak cukup menjadi tempat belajar matematika atau sains.
Kurikulum harus mengajarkan anak tentang hak-hak mereka, nilai-nilai keadilan, dan cara mengenali serta melaporkan kekerasan.
Guru pun perlu pelatihan untuk mampu mendeteksi anak yang mengalami trauma atau pengabaian.
4. Media dan Teknologi sebagai Ruang Aman, Bukan Ancaman Di era digital, anak-anak terpapar informasi tanpa filter.
Literasi digital menjadi kunci. Pemerintah dan masyarakat harus mendorong regulasi konten ramah anak, sekaligus edukasi kepada orang tua agar mampu mendampingi anak berselancar di ruang maya secara bijak.
5. Komunitas sebagai Jaring Pengaman Sosial
Komunitas adalah lingkungan tempat anak tumbuh.
Namun banyak lingkungan justru pasif. Perlu dibangun budaya kolektif, tetangga yang peduli, RT yang aktif, tokoh agama dan pemuda yang berperan.
Kesadaran bahwa perlindungan anak adalah tanggung jawab bersama harus terus digaungkan.
Mengubah Paradigma Dari Reaktif ke Preventif Selama ini, respons kita terhadap kekerasan anak masih reaktif baru bertindak ketika korban sudah jatuh.
Padahal, pendekatan preventif jauh lebih efektif dan hemat sumber daya. Edukasi kesadaran hukum di sekolah, pelatihan guru, kampanye parenting, dan deteksi dini adalah bentuk konkret pendekatan preventif.
Mencegah lebih baik daripada mengobati. Dan dalam konteks perlindungan anak, mencegah berarti menyelamatkan generasi.
Sebagai penutup, Perlindungan anak bukan sekadar penegakan pasal-pasal dalam undang-undang.
Ia adalah komitmen kolektif untuk membangun lingkungan yang secara alami melindungi dan mendukung tumbuh kembang anak.
𝙅𝙞𝙠𝙖 𝙠𝙞𝙩𝙖 𝙞𝙣𝙜𝙞𝙣 𝙢𝙚𝙡𝙞𝙝𝙖𝙩 𝙗𝙖𝙣𝙜𝙨𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙠𝙪𝙖𝙩, 𝙢𝙖𝙠𝙖 𝙠𝙞𝙩𝙖 𝙝𝙖𝙧𝙪𝙨 𝙢𝙚𝙢𝙖𝙨𝙩𝙞𝙠𝙖𝙣 𝙗𝙖𝙝𝙬𝙖 𝙨𝙚𝙩𝙞𝙖𝙥 𝙖𝙣𝙖𝙠 𝙝𝙖𝙧𝙞 𝙞𝙣𝙞 𝙝𝙞𝙙𝙪𝙥 𝙙𝙖𝙡𝙖𝙢 𝙡𝙞𝙣𝙜𝙠𝙪𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙖𝙢𝙖𝙣, 𝙨𝙚𝙝𝙖𝙩, 𝙙𝙖𝙣 𝙥𝙚𝙣𝙪𝙝 𝙠𝙖𝙨𝙞𝙝.
𝙆𝙚𝙜𝙖𝙜𝙖𝙡𝙖𝙣 𝙠𝙞𝙩𝙖 𝙙𝙖𝙡𝙖𝙢 𝙢𝙚𝙡𝙞𝙣𝙙𝙪𝙣𝙜𝙞 𝙖𝙣𝙖𝙠 𝙖𝙙𝙖𝙡𝙖𝙝 𝙠𝙚𝙜𝙖𝙜𝙖𝙡𝙖𝙣 𝙙𝙖𝙡𝙖𝙢 𝙢𝙚𝙣𝙮𝙞𝙖𝙥𝙠𝙖𝙣 𝙢𝙖𝙨𝙖 𝙙𝙚𝙥𝙖𝙣 𝙗𝙖𝙣𝙜𝙨𝙖.
𝙈𝙖𝙠𝙖, 𝙢𝙖𝙧𝙞 𝙠𝙞𝙩𝙖 𝙗𝙖𝙣𝙜𝙪𝙣 𝙚𝙠𝙤𝙨𝙞𝙨𝙩𝙚𝙢 𝙥𝙚𝙧𝙡𝙞𝙣𝙙𝙪𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙖𝙣𝙖𝙠 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙝𝙤𝙡𝙞𝙨𝙩𝙞𝙠, 𝙠𝙖𝙧𝙚𝙣𝙖 𝙢𝙖𝙨𝙖 𝙙𝙚𝙥𝙖𝙣 𝙄𝙣𝙙𝙤𝙣𝙚𝙨𝙞𝙖 𝙗𝙚𝙧𝙩𝙪𝙢𝙥𝙪 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙢𝙚𝙧𝙚𝙠𝙖.